Pages

Senin, 03 Agustus 2015

Penanganan Perdarahan Akut pada Hemofilia


Penanganan Perdarahan Akut pada Hemofilia



 IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA
REKOMENDASI
No.: 003/Rek/PP IDAI/VI/2013
tentang
Penanganan Perdarahan Akut pada Hemofilia

  1. Hemofilia A disebabkan kekurangan faktor VIII, sedangkan hemofilia B disebabkan kekurangan faktor IX.
  2. Secara klinis, perdarahan pada hemofilia A maupun B tidak dapat dibedakan. Perdarahan  dapat terjadi spontan atau pasca trauma/operasi. Berdasarkan aktifitas kadar faktor VIII/IX, hemofilia dapat diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat.
  3. Tata laksana pasien hemofilia harus bersifat komprehensif dan multidisiplin, melibatkan tenaga medis di bidang hematologi, bedah ortopedi, gigi, psikiatri, rehabilitasi medik, serta unit transfusi darah.
  4. Bila terjadi perdarahan akut pada sendi/otot, sebagai pertolongan pertama perlu dilakukan RICE (rest, ice, compression, elevation).
  5. Dalam waktu kurang dari 2 jam pasien harus mendapat replacement therapy faktor VIII/IX.
  6. Untuk perdarahan yang mengancam jiwa (intrakranial, intra abdomen atau saluran napas), replacement therapy harus diberikan sebelum pemeriksaan  lebih lanjut.
  7. Selain replacement therapy, dapat diberikan terapi ajuvan untuk pasien hemofilia, yaitu :
    • Desmopresin (1-deamino-8-D-arginine vasopressin atau DDAVP).
    • Dosis: 0,3 mg/kg (meningkatkan kadar F VIII 3-6x dari baseline).
      Cara pemberian: DDAVP dilarutkan dalam 50-100 ml normal saline, diberikan melalui infus perlahan dalam 20-30 menit.
      DDAVP juga dapat diberikan intranasal, dengan menggunakan preparat DDAVP nasal spray. Dosis DDAVP intranasal yaitu 300 mg, setara dengan dosis intravena 0,3 mg/kg. DDAVP intranasal terutama sangat berguna untuk mengatasi perdarahan minor pasien hemofilia ringan-sedang di rumah.
      Efek samping DDAVP: takikardi, flushing, tremor, dan nyeri perut (terutama pada pemberian intravena yang terlalu cepat), retensi cairan dan hiponatremia.
    • Asam traneksamat
    • Indikasi : perdarahan mukosa seperti epistaksis, perdarahan gusi.
      Kontra indikasi : perdarahan saluran kemih (risiko obstruksi saluran kemih akibat bekuan darah).
      Dosis : 25 mg/kgBB/kali, 3 x sehari, oral/intravena. Dapat diberikan selama 5-10 hari.
Rekomendasi kadar
Referensi :
  1. Montgomey RR, Gill JC, Scott JP. Hemophilia and von willebrand disease. Dalam: Nathan DG, Orkin SH, penyunting. Nathan and oski’s hematology of infancy and childhood. Edisi ke-6. Tokyo: WB Saunders Company 2003. h. 1631-69.
  2. Friedman KD, Rodgers GM. Inherited coagulation disorders. Dalam: Greer JP, Foerster J, Lukens JM, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, penyunting. Wintrobe’s clinical hematology. Edisi ke-11. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins 2004. h. 1620-7.
  3. Marques MB, Fritsma GA. Hemorrhagic coagulation disorders. Dalam: Rodak BF, penyunting. Hematology: clinical principles and applications. Edisi ke-2. Tokyo: WB Saunders Company 2002. h. 588-604.
  4. Scott JP, Montgomery RR. Hereditary clotting factor. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders Co 2007. h. 2066-74.
  5. World Federation of Hemophilia. Guidelines for the management of hemophilia. Canada: World Federation of Hemophilia; 2005.

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Disusun oleh: UKK Hemato-Onkologi IDAI

Imunisasi Pentingnya Imunisasi untuk Mencegah Wabah, Sakit Berat, Cacat, dan Kematian Bayi – Balita


Imunisasi
Pentingnya Imunisasi untuk Mencegah Wabah, Sakit Berat, Cacat, dan Kematian Bayi – Balita


Bagaimana cara mencegah penyakit menular pada bayi dan balita?
 Pencegahan umum: berikan ASI eksklusif, makanan pendamping ASI dengan nutrisi lengkap dan seimbang, menjaga kebersihan (badan, pakaian, mainan, lingkungan), serta penyediaan air bersih untuk makanan dan minuman. Pencegahan spesifik: imunisasi lengkap, karena dalam waktu 4 – 6  minggu setelah imunisasi akan timbul antibodi spesifik yang efektif mencegah penularan penyakit, sehingga anak tidak mudah tertular infeksi, tidak menderita sakit berat, dengan demikian tidak terjadi wabah dan kematian.

Benarkah imunisasi aman untuk bayi dan balita?
 Benar. Saat ini lebih dari 190 negara secara terus menerus melakukan imunisasi untuk bayi dan balita. Di negara tersebut terdapat institusi resmi yang meneliti dan mengawasi vaksin, yang beranggotakan dokter ahli penyakit infeksi, imunologi, mikrobiologi, farmakologi, epidemiologi, biostatistika dll. Sampai saat ini tidak ada negara yang melarang imunisasi, justru semua negara berusaha meningkatkan cakupan imunisasi lebih dari 90% (artinya lebih dari 90 % anak/bayi telah mendapat imunisasi).

Benarkah ada institusi resmi yang mengawasi program imunisasi?
 Benar. Contohnya di Indonesia, berbagai institusi mengawasi program imunisasi, antara lain Badan POM (pengawasan obat dan makanan), Litbangkes, Subdit Surveilans dan Epidemiologi Kemkes, Indonesia Technical Advisory Group for Immunization (ITAGI), Komnas/Komda Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, badan penelitian di Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kesehatan Masyarakat di beberapa Universitas di Indonesia.Institusi seperti tersebut di atas juga dimiliki oleh negara negara lain yang melaksanakan program imunisasi. Semua institusi dan badan tersebut menyatakan bahwa imunisasi amandan bermanfaat untuk mencegah penularan penyakit berbahaya.

Mengapa ada pendapat yang mengatakan bahwa imunisasi berbahaya ?
 Tidak benar imunisasi berbahaya. Pendapat tersebut yang dimuat pada buku, tabloid, atau milis umumnya dikutip dari artikel yang ditulis oleh seorang psikolog, ahli statistik, homeopati, bakteriologi, sarjana hukum, kolumnis, ahli kanker, dan jurnalis, yang bekerja pada era tahun 1950 – 1960.  Padahal jenis dan teknologi pembuatanvaksin telah mengalami kemajuan pesat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, sehingga sangat berbeda dengan keadaan di tahun 1950 – 1970an.

Benarkah “penelitian” Wakefield membuktikan MMR menyebabkan autism ?
 Tidak benar. Wakefield, seorang dokter spesialis bedah melaporkan hal tersebut berdasarkan ‘penelitian’yang dilakukannya terhadap 18 sampel pada tahun 1998.  Akan tetapi, seperti yang diumumkan oleh majalah resmi kedokteran Inggris, British Medical Journal Februari 2011 bahwa setelah diaudit oleh tim ahli penelitian di Inggris, terbukti Wakefield memalsukan data, sehingga kesimpulan yang diberikanpun salah. Di lain pihak, banyak penelitian lain yang dilakukan oleh para ahli vaksin di beberapa negara yang menyimpulkan MMR tidak terbukti mengakibatkan autis.

Benarkah vaksin mengandung zat-zat berbahaya yang dapat merusak otak?
 Tidak benar. Sebaiknya kita memahami isi dan manfaat vaksin, serta batas keamanan zat-zat di dalam vaksin. Sebagai contoh, total bahan kimia etil merkuri yang ada dalam zat timerosal yang masuk ke dalam tubuh bayi melalui vaksin sekitar 150 mcg/kgbb/6 bulan atau sekitar 6 mcg/kgbb/minggu, sedangkan batas aman menurut WHO adalah jauh lebih tinggi (159 mcg/ kgbb/minggu). Oleh karena itu, vaksin yang mengandung merkuri dosis sangat rendah dinyatakan aman oleh WHO dan badan-badan pengawas lainnya.

Benarkah pendapat yang menyatakan “semua zat kimia” berbahaya bagi bayi ?
 Tidak benar. Sebaiknya kita juga memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan zat kimia. Oksigen, air, nasi, buah, sayur, jahe, kunyit, lengkuas, semua tersusun dari zat kimia. Oksigen mempunyai rumus kimia O2, air H2O, garam NaCl. Buah dan sayur terdiri dari serat selulosa, fruktosa, vitamin, mineral, dll. Telur terdiri dari protein, asam amino, mineral. Itu semua adalah zat kimia, karena ada rumus kimianya, sehingga disebut biokimia.Oleh karena itu, zat kimia umumnya justru sangat dibutuhkan untuk manusiadalam takaran yang aman,kecuali zat kimia yang berbahaya.

Benarkah pendapat yang menyatakan vaksin terbuat dari nanah, dibiakkan di janin anjing, babi, manusia yang sengaja digugurkan?
 Tidak benar. Pendapat tersebut bersumber dari tulisan 50 tahun lalu (tahun 1961-1962). Teknologi pembuatan vaksin telah berkembang sangat pesat, sehingga sangat jauh berbeda dengan pembuatan vaksin pada tahun 1950an. Saat ini, tidak ada vaksin yang terbuat dari nanah atau dibiakkan di embrio anjing, babi atau manusia.

Benarkah vaksin mengandung lemak babi?
 Tidak benar. Pada proses penyemaian induk bibit vaksin tertentu 15 - 20 tahun lalu, proses panen bibit vaksin tersebut bersinggungan dengan tripsin pankreas babi untuk melepaskan induk vaksin dari persemaiannya.Tetapi induk bibit vaksin tersebut kemudian dicuci dan dibersihkan total dengan cara ultrafiltrasi ratusan kali, sehingga vaksin yang diberikan kepada anak tidak mengandung tripsin babi. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemeriksaan khusus. Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa vaksin tersebut dapat dipakai, selama belum ada penggantinya. Contoh: vaksin meningokokus haji diwajibkan oleh Saudi Arabia bagi semua jemaah haji untuk mencegah radang otak karena meningokokus.

Vaksin yang digunakan di Indonesia dibuat oleh siapa ?
 Vaksin yang digunakan oleh program imunisasi di Indonesia adalah buatan PT. Biofarma Bandung, pabrik vaksin yang telah berpengalaman selama 120 tahun. Proses penelitian dan pembuatannya mendapat pengawasan ketat dari ahli-ahli vaksin WHO.  Vaksin-vaksin tersebut juga dieksport ke 120 negara lain, termasuk 36 negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam.

Benarkah program imunisasi dapat menjadikan bangsa yang lemah?
 Tidak benar. Saat ini,imunisasi dilakukan pada lebih dari 190 negara, baik negara maju dengan status sosial ekonomi tinggi, negara berkembang, negara negara muslim, maupun negara non-muslim. Apabila imunisasi dapat melemahkan bangsa, maka bangsa dari negara negara tersebut akan lemah. Pada kenyataannya, negara dengan cakupan imunisasi lebih tinggi, jumlah bayi/anak yang mendapat imunisasi lebih banyak justru merupakan negara dengan bangsa yang kuat. Bahkan, mereka telah lebih dulu melaksanakannya dengan jenis vaksin lebih banyak.  Imunisasi justru memperkuat kekebalan terhadap penyakit infeksi, bukan melemahkan.

Benarkah pernyataan di buku, tabloid dan milis tentang kematian bayi yang tinggi akibat vaksin di Amerika ?
 Tidak benar. Data Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) dari FDA (Food & Drug Agency, semacam Badan POM Indonesia) di Amerika tahun 1991-1994 mencatat 38.787 laporan kejadian ikutan pasca imunisasi. Oleh penulis buku, tabloid atau milis, angka tersebut diasumsikan sebagai angka kematian bayi usia 1 - 3 bulan. Kalau memang benar angka kematian begitu tinggi, tentu FDA AS sudah menghentikan vaksinasi. Pada kenyataannya, Amerika tidak pernah meghentikan vaksinasi bahkan mempertahankan cakupan semua imunisasi di atas 90%.
 Angka tersebut adalah keluhan efek samping yang dapat terjadi pada pemberian vaksin, seperti: nyeri, gatal, merah, bengkak di bekas suntikan, demam, pusing, muntah, yang rutin harus dicatat apabila ada laporan masuk. Jadi, angka tersebut bukan angka kematian akibat vaksin. Di Indonesia gejala ikutan pasca imunisasi juga dipantau oleh suatu badan yang disebut Komnas KIPI (Komite Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi)

Benarkah pendapat yang menyatakan banyak anak yang meninggal saat imunisasi masal campak di Indonesia ?
 Tidak benar. Setiap laporan kecurigaan adanya kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) selalu dikaji oleh Komnas / Komda KIPI yang terdiri dari pakar-pakar penyakit infeksi, imunologi, farmakologi, mikrobiologi dll. Berdasarkan analisis kajian terhadapketerangan keluarga, petugas kesehatan yang memberikan imunisasi, dokter yang merawat di rumah sakit, pemeriksaan fisik, dan laboratorium, anak tersebut meninggal karena radang otak, bukan karena vaksin campak. Pada bulan itu ada beberapa balita yang tidak mendapat imunisasi campak juga menderita radang otak. Berarti kematian anak tersebut tidak dapat dikatakan karena imunisasi campak, tetapi karena radang otak.

Apakah demam, bengkak, nyeri, dan kemerahan yang dapat terjadi setelah imunisasi merupakan keadaan yang berbahaya ?
 Tidak berbahaya. Demam, nyeri, kemerahan, bengkak, gatal di bekas suntikan adalah reaksi wajar setelah vaksin masuk ke dalam tubuh. Seperti rasa pedas dan berkeringat setelah makan sambal adalah reaksi normal tubuh kita. Umumnya keluhan tersebut akan hilang dalam beberapa hari. Boleh diberi obat penurun panas, dikompres. Bila perlu dapat berkonsultasi kepada petugas kesehatan yang telah memberikan imunisasi untuk mendapat penjelasan, pertolongan atau pengobatan.

Benarkah vaksin Program Imunisasi di Indonesia juga dipakai oleh 36 negara Islam ?
 Benar. Vaksin yang digunakan oleh program imunisasi di Indonesia adalah buatan PT Biofarma Bandung. Vaksin-vaksin tersebut dibeli dan dipakai oleh 120 negara, termasuk 36 negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam.

Benarkah pernyataan di tabloid dan milis, bahwa program imunisasi gagal di banyak negara?
 Tidak benar. Pendapat tersebut bersumber dari data 50 – 150 tahun lalu, hanya dari 1 – 2 negara, sehingga hasilnya sangat berbeda dengan hasil penelitian terbaru, karena jenis vaksin dan cara pembuatannya sangat berbeda.
 Pernyataan bahwa imunisasi cacar variola gagal, berdasarkan data di Inggris tahun 1867-1880 dan Jepang tahun 1872-1892. Fakta terbaru sangat berbeda, bahwa dengan imunisasi cacar yang dilakukan di seluruh dunia, maka sejak tahun 1980 dunia bebas cacar variola.
 Pernyataan bahwa imunisasi difteri gagal, berdasarkan data di Jerman tahun 1939. Fakta sampai sekarang vaksin difteri dipakai di seluruh dunia dan mampu menurunkan kasus difteri 95%.Pernyataan bahwa imunisasi pertusis gagal, hanya berdasarkan data di Kansas dan Nova Scottia tahun 1986. Fakta sampai sekarang vaksin pertusis dipakai di seluruh dunia dan berhasil menurunkan kasus pertusis lebih dari 80%.
 Pernyataan bahwa imuniasi campak berbahaya hanya berdasar penelitian 1989-1991 pada anak miskin berkulit hitam di Meksiko, Haiti dan Afrika. Fakta sampai sekarang vaksin campak dipakai di seluruh dunia dan mampu menurunkan jumlah kasus campak 68 – 90 %.

Benarkah isu program imunisasi gagal, karena bayi dan balita yang telah diimunisasi masih dapat tertular penyakit tersebut ?
 Tidak benar program imunisasi gagal.  Perlindungan vaksin memang tidak 100%. Bayi dan balita yang telah diimunisasi masih bisa tertular penyakit, tetapi jauh lebih ringan dan tidak berbahaya. Sedangkan bayi balita yang belum diimunisasi lengkap bila tertular penyakit tersebut bisa sakit berat, cacat, atau meninggal.

Benarkah imunisasi bermanfaat mencegah wabah, sakit berat, cacat dan kematian bayi dan balita? 
 Benar. Badan penelitian di berbagai negara membuktikan bahwa dengan meningkatkan cakupan imunisasi, maka penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi berkurang secara bermakna. Oleh karena itu saat ini program imunisasi dilakukan terus menerus di  banyak negara. Semua negara berusaha meningkatkan cakupan agar lebih dari 90%. Di Indonesia, terjadi wabah polio 2005-2006 karena banyak bayi yang tidak diimunisasi polio, maka menyebabkan 305 anak lumpuh permanen. Setelah digencarkan imunisasi polio, sampai saat ini tidak ada lagi kasus polio baru.

Bagaimana orangtua harus bersikap ? 
 Sebaiknya semua bayi dan balita di imunisasi secara lengkap. Saat ini lebih dari 190 negara negara di seluruh dunia yakin bahwa imunisasi aman dan bermanfaat mencegah wabah, sakit berat, cacat dan kematian. Negara tersebut terus menerus melaksanakan program imunisasi, termasuk negara maju dengan tingkat sosial ekonomi tinggi, negara berkembang, dan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan cakupan umumnya lebih dari 85%.
 Badan penelitian di berbagai negara membuktikan, makin banyak bayi dan balita yang tidak diimunisasi akan terjadi wabah, sakit berat, cacat atau mati. Di Indonesia terjadi wabah penyakit polio pada 2005-2006 (385 anak lumpuh permanen), wabah campak tahun 2009 - 2010 (5818 anak dirawat di rumah sakit, meninggal 16), wabah difteri tahun 2010-2011 (816 anak di rawat di rumah sakit, 56 meninggal).

Adakah yang dapat menggantikan imunisasi untuk memberikan kekebalan spesifik terhadap penyakit ?

Tidak ada satupun badan penelitian di dunia yang menyatakan bahwa kekebalan akibat imunisasi dapat digantikan oleh zat lain, termasuk ASI, nutrisi, maupun suplemen herbal, karena kekebalan yang dibentuk sangat berbeda. ASI, nutrisi, suplemen herbal, maupun kebersihan dapat memperkuat pertahanan tubuh secara umum, namun tidak membentuk kekebalan spesifik terhadap kuman tertentu yang berbahaya. Apabila jumlah kuman banyak dan ganas, perlindungan umum tidak mampu melindungi bayi, sehingga masih dapat sakit berat, cacat atau mati.
Vaksin akan merangsang pembentukan kekebalan spesifik (antibodi) terhadap kuman, virus atau racun kuman tertentu. Setelah antibodi terbentuk, vaksin akan bekerja lebih cepat, efektif dan efisien untuk mencegah penularan penyakit yang berbahaya.
 Selain diberi imunisasi, bayi tetap diberi ASI eksklusif, makanan pendamping ASI dengan nutrisi lengkap dan seimbang, kebersihan badan dan lingkungan. Suplemen diberikan sesuai kebutuhan individual yang bervariasi. Selain itu bayi harus mendapat perhatian dan kasih sayang serta stimulasi bermain untuk mengembangkan kecerdasan, kreatifitas dan perilaku yang baik.

Benarkah bayi dan balita yang tidak diimunisasi lengkap, rawan tertular penyakit berbahaya ?  
 Benar. Banyak penelitian imunologi dan epidemiologi di berbagai negara membuktikan bahwa bayi dan balita yang tidak diimunisasi lengkap, tidak mempunyai kekebalan spesifik yang optimal terhadap penyakit menular berbahaya. Mereka mudah tertular penyakit tersebut, dapat menderita sakit berat, menularkan ke anak-anak lain, menyebar luas, terjadi wabah, menyebabkan banyak kematian dan cacat.

Benarkah wabah akan terjadi bila banyak bayi dan balita tidak diimunisasi  ?
 Benar. Hal tersebut sudah terbukti di beberapa negara Asia, Afrika dan di Indonesia. Wabah polio tahun 2005-2006 di Sukabumi karena banyak bayi balita tidak diimunisasi polio, dalam beberapa bulan virus polio menyebar cepat ke Banten, Lampung, Madura, sampai Aceh, menyebabkan 385 anak lumpuh permanen.Wabah campak di Jawa Tengah dan Jawa Barat  2009-2011 mengakibatkan  5818 anak di rawat di rumah sakit, 16 anak  meninggal, terutama yang tidak diimunisasi campak. Wabah difteri dari Jawa Timur 2009 – 2011 menyebar ke Kalimantan Timur, Selatan, Tengah, Barat, DKI Jakarta, menyebabkan 816 anak harus di rawat di rumah sakit, 54 meninggal, terutama yang imunisasinya belum lengkap atau belum pernah imunisasi DPT.

Benarkah imunisasi rutin dan imunisasi tambahan serentak di beberapa propinsi dapat menghentikan wabah ?
 Benar. Wabah polio di beberapa propinsi tahun 2005-2006 telah berhasil dihentikan dengan imunisasi polio rutin dan tambahan secara serentak pada semua bayi/balita melalui beberapa kali Pekan Imunisasi Polio Nasional.Wabah campak di beberapa propinsi tahun 2009- 2011 telah berhasil dihentikan dengan imunisasi campak rutin dan tambahan pada semua bayi balita 9 - 59 bulan di semua propinsi secara terus–menerus.Wabah difteri di beberapa propinsi tahun 2009 - 2011 telah berhasil dihentikan dengan imunisasi DPT rutin dan tambahan pada semua bayi balita di beberapa propinsi.

Imunisasi untuk mencegah penyakit berbahaya
 Saat ini telah ada beberapa jenis vaksin yang telah disediakan oleh pemerintah untuk imunisasi rutin, yaitu Hepatitis B, Polio, BCG, DPT, Campak dan vaksin-vaksin untuk jemaah haji (Meningitis). Disamping itu, ada beberapa imunisasi lain yang memang belum disediakan oleh pemerintah.
 Imunisasi Hepatitis B untuk mencegah  virus Hepatitis B yang dapat menyerang dan merusak hati, bila berlangsung sampai dewasa dapat menjadi kanker hati. Imunisasi Polio untuk mencegah serangan virus polio yang sapat menyebabkan kelumpuhan. Imunisasi BCG untuk mencegah tuberkulosis paru, kelenjar, tulang dan radang otak yang bisa menimbulkan kematian atau kecacatan. Imunisasi Campak untuk mencegah radang paru, diare, dan radang otak karena virus campak.
 Imunisasi DPT untuk mencegah 3 penyakit, yaitu  Difteri, Pertusis dan Tetanus. Penyakit Difteri dapat menyebabkan pembengkakan dan sumbatan jalan nafas, serta mengeluarkan racun yang dapat melumpuhkan otot jantung. Penyakit Pertusis berat dapat menyebabkan infeksi saluran nafas berat (pneumonia). Kuman Tetanus mengeluarkan racun yang menyerang syaraf otot tubuh, sehingga otot menjadi kaku, sulit bergerak dan bernafas.
 Mari kita cegah penularan penyakit, wabah, sakit berat, cacat dan kematian bayi dan balita dengan imunisasi dasar lengkap, untuk membangun generasi muda Indonesia yang sehat dan sejahtera

Satuan Tugas Imunisasi
Ikatan Dokter Anak Indonesia

Neoplasma dan Perbedaan Kanker dengan Tumor

Neoplasma dan Perbedaan Kanker dengan Tumor



 
Tahukan kalian apa itu kanker? Kanker kalau isengnya sih disebut juga salah satu penyakit yang sering menimpa pengangguran, hihihi… itulah Kantung Kering, alias tidak memiliki uang. Jelaslah mana mungkin seseorang mempunyai uang sedangkan pekerjaan saja tidak memiliki. Namun, bukan hal itu yang akan dibahas dalam artikel ini.

Kanker yang dimaksudkan dalam artikel ini adalah suatu penyakit yang menyerang jaringan sel tubuh atau lebih mudahnya adalah suatu penyakit yang memiliki tanda pertumbuhan sel-sel yang tidak dapat terkendali. Sel-sel tubuh yang terserang oleh penyakit kanker ini mengalami perubahan material genetic asam deoksiribonukleat (DNA) sehingga dapat terlihat dengan mudah, dapat terlihat dengan mudah karena sel yang terserang oleh penyakit kanker ini akan menunjukan perbedaan pada karakteristik selnya (Perbedaan pertumbuhan sel).

Lalu apa yang dimaksudkan dengan Tumor? Dapat dikatakan bahwa setiap benjolan atau pembengkakan yang tidak normal atau abnormal dari jaringan tubuh yang disebabkan oleh segala sesuatu disebutnya tumor. Karakteristik dari tumor ini adalah dapat terlihat dari permukaan tubuh atau dapat juga tersembunyi di dalam tubuh. Asal kata dari tumor ini adalah Neoplasma.

Neoplasma adalah massa jaringan abnormal yang diakibatkan oleh neoplasi, neoplasi sendiri diartikan sebagai proses pertumbuhan dan perkembangan jaringan tubuh yang abnormal yakni yang tumbuh sendiri secara tidak terkendali.

Jaringan tubuh yang mengalami neoplasi pada asalnya berkembang dari jaringan tubuh sendiri. Jaringan yang terkena dan mengalami neoplasi akan menimbulkan benjolan pada bagian tubuh yang mengalaminya.

Lalu apa hubungannya Neoplasma dengan Kanker dan Tumor?
Neoplasma itu terbagi menjadi dua bagian yakni Neoplasma benigna dan Neoplasma maligna. Neoplasma beligna disebut juga tumor jinak, tumor jinak ini memiliki karakteristik yaitu benjolan yang bersifat jinak, pertumbuhan tumor yang lambat dan memiliki batasan yang tegas sehingga mudah sekali dikenali dan dengan mudah juga dapat diangkat melalui operasi. Sehingga tumor itu dapat disembuhkan dengan sempurna tanpa meninggalkan sedikitpun tumor.

Sedangkan Neoplasma Maligna disebut juga sebagai tumor ganas atau lebih dikenal sebagai kanker. Karakteristik dari kanker ini adalah pertumbuhannya yang sangat cepat sehingga sulit sekali untuk dikendalikan hal ini dikarenakan sel-sel jaringan dapat berubah menjadi sel kanker dengan waktu cepat. Kanker ini adalah penyakit yang menyebar ke seluruh tubuh karena dapat berkembang dengan daerah sekitar yang terjangkitnya.

Kanker ini sangat sulit diobati, adapun dengan operasi hanya mengangkat bagian yang paling parah dijangkit penyakit ini. Sedangkan jaringan lainnya yang telah terserang sel kanker harus di sinar, itupun bukan untuk menyembuhkan melaikan hanya menghambat kinerja sel kanker. Selain dengan sinar, ternyata terdapat juga dengan obat suntik hormone yang menghambat pertumbuhan sel.

Lalu apa yang disebut metastatis? Metastatis adalah sebutan bagi suatu proses penyebaran dan penyusupan sel-sel kanker pada bagian tubuh lain yang sehat sehingga menjadikan sel tubuh yang sehat itu terjangkit kanker.

LIMFADENITIS

LIMFADENITIS


 Sistim limfatik adalah bagian dari sistem kekebalan tubuh yang paling berperan dalam melawan dan membentengi tubuh dari infeksi dan sejumlah penyakit.
Limfadenitis adalah peradangan pada salah satu atau beberapa kelenjar getah bening, yang ada disekitar leher, ketiak dan pangkal paha, sedangkan getah bening adalah cairan yang bersirkulasi didalamnya, membawa sel darah putih mengelilingi seluruh tubuh. Penyakit ini bisa terjadi pada orang dan anak-anak.
Umumnya peradangan ini disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, parasit jamur atau sebagai dampak dari penyakit lainnya seperti :
  • Mononukleosis.
  • Penyakit seksual, termasuk HIV.
  • Radang amandel.
  • Tuberkulosis.
  • Artritis reumatoid (radang sendi kronis).
  • Kanker, seperti leukemia.
  • Radang gusi (luka mulut)
  • Infeksi telinga
Gejala-gejala limfadenitis yang umum ditemui adalah :
  • Kelenjar getah bening membesar/membengkak (terjadi benjolan), biasanya lunak dan terasa sakit.
  • Kulit di sepanjang kelenjar yang terinfeksi tampak kemerahan dan terasa hangat.
  • Demam.
  • Kadang, terbentuk kantung atau nanah (abses) .
Kelenjar getah bening yang terus membesar namun tidak menyebabkan nyeri atau kemerahan justru bisa mengindikasikan gangguan serius lainnya, seperti limfoma (kanker sel darah putih) atau tuberkulosis.
Untuk pengobatan, umumnya akan dilakukan biopsi atau pengangkatan dan penelitian pada contoh jaringan.
Istirahat yang cukup, makanan sehat dan lingkungan yang bersih dapat mencegah terjadinya limfadenitis. Konsumsi bawang putih juga bisa dijadikan alternatif pencegahan.
Jika Anda merasakan ada benjolan disekitar area getah bening, hindari pemijatan untuk menghindari ‘pecah’nya benjolan tersebut dan jika tidak segera diobati, benjolan akan semakin besar dan berbahaya.

DISLIPIDEMIA

Dislipidemia Sebagai Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner

Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol-LDL, trigliserida, serta penurunan kadar kolesterol-HDL. Semua fraksi lipid mempunyai peranan penting dalam proses terjadinya aterosklerosis dan erat kaitannya antara satu dengan yang lain.
Penyakit kardiovaskuler, utamanya penyakit jantung koroner (PJK) menyebabkan banyak kematian di dunia. Faktor-faktor risiko yang berperan pada patogenesis PJK antara lain : kebiasaan merokok, hipertensi, dislipidemia dan diabetes-melitus.

BEBERAPA KEADAAN DISLIPIDEMIA YANG MERUPAKAN FAKTOR RISIKO PJK
Peningkatan Kadar Kolesterol –LDL
Peningkatan small, dense LDL akan mudah masuk ke dalam dinding arteri dan sangat mudah mengalami oksidasi keadaan yang sangat kondusif terjadinya aterogenesis. Small, dense LDL menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. LDL yang teroksidasi menghasilkan formasi sel busa yang merupakan tipikal aterosklerosis.
Kadar Kolesterol –HDL Rendah
Penurunan kadar HDL dalam plasma dihubungkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung terutama PJK. Kadar HDL yang rendah adalah abnormalitas lipid yang paling sering ditemukan pada kelompok dengan PJK prematur.
Peningkatan Kadar Trigliserida
Studi epidemologi memperlihatkan prevalensi hipertrigliseridemia yang tinggi pada kelompok pasien dengan PJK serta terdapat hubungan antara peningkatan trigliserida serum dengan peningkatan risiko PJK. Hipertrigliseridemia menjadi faktor risiko yang sangat kuat bila bersama dengan peningkatan kolesterol LDL dan kolesterol HDL yang rendah.
Peningkatan Kadar Kolesterol Non-HDL
Sejumlah individu dengan PJK memiliki nilai kolesterol LDL yang normal atau sedikit meningkat namun dengan nilai kolesterol HDL yang rendah atau trigliserida yang tinggi. Kolesterol LDL tidak mencerminkan fraksi lipoprotein aterogenik secara keseluruhan karena partikel yang memuat apoB seperti VLDL, VLDL remnants, kilomikron remnants, dan IDL juga berpotensi aterogenik karena mempunyai kemampuan untuk penetrasi ke dalam lapisan intimal arteri dan berkontribusi terhadap progresifitas plak. 
Patofisiologi terjadinya PJK berawal dari terbentuknya aterosklerosis, dimana yang berperanan adalah kolesterol LDL teroksidasi dan faktor-faktor inflamasi yang mempengaruhi plak aterosklerosis. NCEP-ATP III telah membuat klasifikasi kadar lipid dan target optimal yang ingin dicapai dan telah mengalami perubahan pada tahun 2004 dengan menambahkan target kolesterol LDL yang harus dicapai untuk kategori risiko sangat tinggi untuk kejadian kardiovaskuler.

Jenis Terapi Dislipidemia
  • Terapi perubahan gaya hidup
Semua pasien dianjurkan untuk mengendalikan faktor risiko PJK, antara lain dengan mengurangi asupan lemak jenuh, asam lemak trans dan kolesterol; menurunkan berat badan bagi yang kegemukan atau mencegah kegemukan pada yang berat badannya normal, serta meningkatkan aktifitas fisik dan berhenti merokok atau mencegah menjadi perokok bagi yang bukan perokok.
  • Terapi Farmakologis
Saat ini sudah terdapat lima jenis obat untuk terapi dislipidemia yaitu golongan statin, resin, fibrat, asam nikotinat, dan ezetimibe. Dalam praktek sehari-hari, pemilihan jenis obat tergantung kepada jenis dislipidemia yang akan diterapi. Terapi farmakologis selain mempertimbangkan efektifitasnya, juga efek samping dan segi ekonomisnya. Karena kolesterol-LDL adalah sasaran utama terapi dislipidemia, maka statin sebagai obat tunggal atau dikombinasi dengan ezetimibe merupakan pilihan terapi rasional untuk menurunkan kadar kolesterol-LDL. Sementara itu, golongan fibrat dan asam nikotinat digunakan dalam keadaan dislipidemia kombinasi, terutama setelah kadar kolesterol-LDL mencapai target. Fibrat digunakan pada pasien dengan dislipidemia kombinasi (dikombinasikan dengan statin), hipertrigliseridemia, atau isolated low HDL-cholesterol. Kebanyakan obat terapi dislipidemia dapat dikombinasi penggunaannya.


Ditulis Oleh :  Kamalia Halid
Sumber Gambar : http://www.anneahira.com/jantung-koroner.htm

Kamis, 30 Juli 2015

ETIKA PENGGUNAAN HEWAN PERCOBAAN

Etika Penggunaan Hewan Percobaan


Sebagian penelitian biomedik dapat diselesaikan di laboratorium dengan cara kerja in vitro atau dengan menggunakan bahan hidup, seperti galur sel dan biakan jaringan. Pada tahap berikutnya seringkali diperlukan penelitian dengan menggunakan makhluk hidup utuh agar keseluruhan interaksi yang terjadi dalam tubuhnya dapat diamati dan dikaji. Keamanan dan khasiat obat misalnya, perlu diteliti dengan menggunakan hewan percobaan sebelum penelitian layak dilanjutkan dengan mengikutsertakan relawan manusia. Obat baru tidak boleh digunakan untuk pertama kali langsung pada manusia, sekalipun tanpa uji coba pada hewan percobaan telah dapat diduga dengan wajar keamanannya. Hewan percobaan akan mengalami berbagai keadaan luar biasa yang menyebabkan penderitaan, seperti rasa nyeri, ketidaknyamanan, ketidaksenangan dan pada akhirnya kematian. Sebagai bangsa yang beradab hewan percobaan yang menderita untuk kebaikan manusia, wajib dihormati hak azasinya dan diperlakukan secara manusiawi.
Penelitian kesehatan dengan menggunakan hewan percobaan secara etis hanya dapat dipertanggungjawabkan, jika:
1. Tujuan penelitian dinilai cukup bermanfaat
2. Desain penelitian dapat menjamin bahwa penelitian akan mencapai tujuannya.
3. Tujuan penelitian tidak dapat dicapai dengan menggunakan subjek atau prosedur alternatif
4. Manfaat yang akan diperoleh jauh lebih berarti dibandingkan dengan penderitaan yang dialami hewan percobaan.
Beberapa prinsip dasar penggunaan hewan percobaan adalah sebagai berikut:
1. Untuk kemajuan pengetahuan biologi dan pengembangan cara-cara lebih baik dalam melindungi kesehatan dan kesejahteraan manusia, diperlukan percobaan pada berbagai spesies hewan yang utuh. Ini dilakukan setelah pertimbangan yang seksama karena jika layak, harus digunakan metode seperti model matematika, simulasi komputer, dan sistem in vitro.
2. Hewan yang dipilih untuk penelitian harus sesuai spesies dan mutunya, serta jumlahnya hendaknya sekecil mungkin, namun hasil penelitiannya absah secara ilmiah.
3. Peneliti dan tenaga kerja lainnya harus memperlakukan hewan percobaan sebagai makhluk perasa, memperhatikan pemeliharaan dan pemanfaatannya serta memahami cara mengurangi penderitaannya.
4. Peneliti harus menganggap bahwa prosedur yang menimbulkan rasa nyeri pada manusia, juga menimbulkan rasa nyeri pada spesies bertulang belakang termasuk primata.
5. Pada akhir penelitian bahkan pada waktu dilakukan percobaan, hewan yang menderita nyeri hebat atau terus menerus atau menjadi cacat yang tidak dapat dihilangkan harus dimatikan tanpa rasa nyeri.
6. Hewan yang akan dimanfaatkan untuk penelitian hendaknya dipelihara dengan baik, termasuk kandang, makanan, air minum, transportasi dan cara menanganinya sesuai tingkah laku dan kebutuhan biologik tiap spesies.
7. Pimpinan lembaga yang memanfaatkan hewan percobaan bertanggung jawab penuh atas semua hal yang tidak mengikuti etik pemanfaatan hewan percobaan di lembaganya. Sebaliknya pimpinan wajib menjaga keselamatan dan kesehatan para pengelola, dengan cara:
a. Pemeriksaan kesehatan setiap tahun sekali dan memberikan imunisasi terhadap penyakit-penyakit yang mungkin ditularkan akibat pekerjaannya.
b. Menyediakan alat pelindung seperti masker, sarung tangan, sepatu karet/ pelindung sepatu, tutup kepala, pelindung mata, dan jas laboratorium.
c. Menyediakan fasilitas fisik baik mangan maupun peralatan yang memenuhi persyaratan keamanan kerja dan ergonomic sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kecelakaan.
d. Penanganan limbah yang baik dan benar untuk mencegah terjadinya pencemaran.
Dalam hal memanfaatkan hewan percobaan untuk penelitian kesehatan digunakan prinsip 3R, yaitu: replacement, reduction dan refinement. (Hume and Russel, 1957)
1. Replacement
Ada dua alternatif untuk replacement, yaitu:
a. Replacement relatif, yaitu tetap memanfaatkan hewan percobaan sebagai donor organ, jaringan, atau sel.
b. Replacement absolut, yaitu tidak memerlukan bahan dari hewan, melainkan memanfaatkan galur sel (cell lines) atau program komputer.
2. Reduction
Mengurangi pemanfaatan jumlah hewan percobaan sehingga sesedikit mungkin dengan bantuan
ilmu statistik, program komputer, dan teknik-teknik biokimia serta tidak mengulangi penelitian dengan hewan percobaan apabila tidak perlu.
3. Refinement
Mengurangi ketidaknyamanan yang diderita oleh hewan percobaan sebelum, selama, dan setelah penelitian, misalnya dengan pemberian analgetik.
Pustaka
Etika kedokteran dan hukum kesehatan ed 4 Oleh Prof. dr. M. Jusuf Hanafiah, Sp.OG(K) & Prof. dr. Amri Amir, Sp.F(K), SH

Gejala Diabetes Anak

Gejala Diabetes Anak

 

Anak-anak Indonesia yang mesti meregang nyawa akibat diabetes yang tidak terdeteksi. Diabetes mellitus tipe 1 yang menyerang anak-anak sering tidak terdiagnosis oleh dokter karena gejala diabetes pada anak yang awalnya yang tidak begitu jelas dan pada akhirnya sampai pada gejala lanjut dan traumatis seperti mual, muntah, nyeri perut, sesak nafas, bahkan koma. Seringkali gejala-gejala ini disalahkan oleh orangtua maupun dokter sebagai penyakit usus buntu infeksi dan lain sebagainya. Namun berbeda dengan gejala usus buntu, gejala diabetes pada anak tipe 1 ini mempunyai cirikhas yaitu nafas si anak berbau asam atau seton. Kelalaian dalam diagnosis penyakit diabetes mellitus 1 menyebabkan penanganan yang tidak sesuai bahkan dapat menyebabkan kematian.
Diabetes yang tidak ditangani dengan baik juga memunculkan komplikasi pada gejala diabetes pada anak ini semisal hiperglikemia dan hipoglikemia. Pada kondisi hiperglikemia, kadar gula dalam darah terlalu banyak, sebaliknya pada kondisi hipoglikemia tubuh kekurangan kadar gula dalam darah. Bagi orangtua yang anaknya menunjukkan gejala diabetes pada anak seperti buang air kecil, peningkatan rasa haus dan lapar, cepat lelah, turunnya berat badan, sesak nafas, nafas anak berbau asam/aseton, adanya infeksi jamur pada kulit, penglihatan kabur, muntah, atau sakit perut, sebaiknya segera berkonsultasi kepada dokter.
Gejala diabetes pada anak yang menyerang adalah kelainan sistemik yang terjadi akibat gangguan metabolisme glukosa yang ditandai dengan hiperglikemia kronik. Keadaan ini diakibatkan oleh kerusakan sel penghasil insulin di kelenjar liur lambung (pankreas) sehingga produksi insulin berkurang bahka  terhenti. Insulin adalah hormone penting berperan dalam menjaga keseimbangan gula dalam tubuh. Karena tidak memiliki insulin anak dengan diabetes tipe 1 membutuhkan  asupan insulin dari luar. Suntikan insulin harus dilakukan seumur hidupnya. Pun demikian dengan pengecekan kadar gula darah. Penyakit diabetes mellitus tipe 1 disebabkan oleh proses autoimun, yaitu suatu keadaan dimana terjadi kerusakan system imunitas tubuh, sehingga tubuh menghasilkan zat anti terhadap sel penghasil insulin. Proses ini diketahui terkait dengan kerusakan gen tertentu yanbg dapat diturunkan dariorang tua kepada anaknya (hanya 10% kasus) atauu kerusakan gen yang terjadi spontan (akibat infeksi, polusi, radiasi, konsumsi obat, dan lain sebagainya). Oleh karena itu, penyakit DM tipe 1 pada anak merupakan penyakit yang tidak dapat dicegah dan sangat sulit untuk diketahui sejak dini sebelum timbulnya gejala-gejala diatas.
Diabetes mellitus tipe 1 pada anak terjadi tanpa memandang usia. Meski masih terdengar asing ditelinga sebagian masyarakat, kasus diabetes pada anak bukanlah hal langka lagu. Dalam dua tahun terakhir saja terjadi peningkatan jumlah pasien diabetes anak-anak. Perlu diketahui tidak ada penyakit lain di Indonesia yang bisa naik 4 kali lipat seperti diabetes pada anak ini.

 

Gejala Diabetes Pada Ibu Hamil

Gejala Diabetes Pada Ibu Hamil


gejala diabetes pada kehamilanGejala diabetes melitus yang umum terjadi dan dapat dilihat adalah ketika berkemih terdapat semut hitam yang menggelilingi air seni tersebut. Diabetes mellitus merupakan kelainan metabolisme yang kronis dan terjadi karena defisiensi insulin atau resistensi insulin. Penyakit diabetes mellitus tipe 1 ditandai dengan defisensi absolut inuslin yang terjadi karena kekurangan sel-sel bata dalam pulau-pulau langerhans pankreas, penanganan diabetes berupa terapi sulih hormon. Penyakit diabetes tipe 2 berkaitan dengan berbagai derajat defisiensi insulin dan resisitensi insulin, penanganan diabetes mellitus tipe 2 ini dapat berupa pengaturan makan dan diet, pemberian obat-obat hipoglikemi oral atau insulin. Untuk menghasilkan pengendalian gula darah yang adekuat, semua ibu hamil yang menderita diabetes harus mendapatkan terapi insulin.
diabetes-pankreas-insulin
Diabetes gestasional (diabetes kehamilan) terjadi bila simpanan insulin bu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan ekstra pada kehamilan. Lima puluh persen ibu hamil yang terkena diabetes gestasional akan menderita diabetes tipe 2 di kemudian hari. Meksipun mungkin tanpa gejala, penyakit diabetes pada kehamilan harus ditemukan karena bila tidak, kelainan seperti makrosomia neonatal serta hipoglikemis neonatal mungkin tidak diketahui dan tidak ditangani dengan tepat. Risiko terjadinya animali kongenital.
Sebelum tersedianya insulin, tidaklah umum bagi wanita diabetes menjadi hamil. Kehamilan pada mereka ini bisa bedampak serius untuk dirinya sendiri maupun bayinya. Angka kematian ibu sebesar 25-30% dan angka kematian bayi 50% atau lebih adalah umum pada awal 1900 an. Dengan ditemukannya insulin dan digunakannya berbagai jenis pemantauan untuk janin seperti USG dan pemantauan kecepatan jantung janin, masalah yang parah jarang ditemukan dewasa ini. Angka ketahanan hidup janin cukup baik.
Selama kehamilan, janin terus-menerus mengeluarkan gula dan asam amino dari peredaran darah Anda. Hormon-hormon plasenta, laktogen plasneta manusia (HPL), estrogen, progesteron, dan kenaikan hormon kortisol juga memberi pengaruh pada insulin yang ada di dalam peredaran darah Anda. Hasilnya bisa berupa masalah dalam mengendalikan gula darah.
Sehabis makan, kadar gula di dalam darah biasanya tinggi. Jika anda mempunyai masalah, kadar insulin akan meningkat tetapi tidak cukup tinggi untuk memberi respons terhadap kenaikan jumlah gula darah.
Pada awal kehamilan, janin yang sedang berkembang memakai glukosa dan asam amino si ibu. Pada paruh kedua kehamilan, hormon-hormon plasenta menaikkan kebutuhan akan insulin pada si ibu.
Kehamilan sudah diketahui dpaat memperlihatkan wanita mana saja yang rentan terhadap diabetes. Wanita yang mempunyai kadar gula darah yang meningkat selama kehamilan, cenderung mempunyai insidens diabetes yang lebih tinggi pada masa kehidupan selanjutnya.

PENYAKIT DIABETES MELITUS DI INDONESIA

Penyakit Diabetes Melitus di Indonesia

 

diabetes melitusMitos yang mengatakan bahwa Diabetes Mellitus tidak bisa disembuhkan adalah keyakinan yang menyesatkan. Adakah keberanian yang menjamin angka gula darah seseorang haru ini pasti sama dengan pekan depan? Atau, bahkan sama sampai akhir khayatnya? Sesungguhnya memvonis seseorang bahwa ia akan menderita penyakit diabetes seumur hidupnya adalah perbuatan yang mendhului takdir. Biasanya setelah mengetahui angka gula darah seseorang melampaui angkat normak, sebagian ahli pengobatan langsung menetapkan mereka yang angka gula darahnya lebih dari 200 mg/dL divonis menderita diabetes melitus dan seolah angka gula darah tersebut sulit berubah.
Belum lagi terir yang menghantui masyarakat bahwa kebanyakan penderita diabet terancam komplikasi dan harus waspada kena stroke, cuci darah atau diamputasi. Alhasil, penyakit diabetes melitus di Indonesia menjadi momok yang mencekam dan mengusik ketenangan. Lalu, jika memang bisa disembuhkan mengapa penyakit in berujung penderitaan seumur hidup? Mengapa banyak yang berusaha berobat kemanapun namun tak kunjung sembuh, bahkan sebaliknya. Benarkah diabet tidak ada solusinya.
Sesungguhnya pengobatan penyakit diabetes melitus di Indonesia secara konvensional yang berlangsung selama ini sangat membingungkan dan cenderung tidak masuk akal. Pengobatan yang dijalani penderita diabet pada umumnya bertolak belakang dengan harapan. Hal ini sangat memperhatikan, artinya mereka yang divonis menderita diabet pada umumnya berusaha menjalani pengobatan, namun lembaga medis dan para ahlinya tidak bisa menjanjikan harapan baik. Ada beberapa faktor yang menyebabkan pengobatan diabet berujung komplikasi, stroke, amputasi, gagal ginjal atau juga kematian.

BEBERAPA GEJALA DIABETES PADA WANITA DAN PRIA YANG UMUM TERJADI

Beberapa Gejala Diabetes Pada Wanita Dan Pria Yang Umum Terjadi 

 

  •   Mengalami Kesemutan

Pada tahap awal biasanya penderita diabetes akan mengalami kesemutan pada jari-jari tangan dan kaki hal ini terjadi karena sistem syaraf secara perlahan mulai mengalami kerusakan, kesemutan yang terjadi bisa sering muncul bahkan penderita bisa mengalami mati rasa pada bagian tubuh tertentu.
  • Sering Merasa Haus Dan Buang Air Kecil

Sering merasa haus dan juga buang air kecil adalah gejala diabetes pada wanita dan pria yang sering terjadi, kebanyakan dari penderitanya mengalami rasa haus yang berlebihan bahkan seperti orang yang mengalami dehidrasi dan hal ini membuat penderitanya harus minum yang banyak. Terlalu minum banyak air juga tidak bagus dah hal ini bisa membuat seseorang ingin buang air kecil setiap saat.
  • Pandangan Mata Menjadi Tidak Jelas

Untuk gejala diabetes pada wanita dan pria yang lain adalah masalah penglihatan dan hal ini terjadi akibat kadar glukosa darah meningkat sehingga pembuluh darah akan menjadi rusak, dan pembuluh darah yang rusak secara otomatis akan membatasi jumlah cairan yang akan di kirim ke mata sehingga banyak penderita diabetes yang mengalami masalah pada matanya seperti pandangan menjadi tidak jelas atau kabur. Gejala yang satu ini bisa hilang bila kadar gula darah penderita diabetes menjadi normal kembali.
  • Sering Merasa Lelah Dan Mudah emosi

Biasanya orang yang menderita diabetes tubuhnya sering merasa lelah dan cape hal ini di sebabkan karena pada malam hari penderita diabetes mengalami kesulitan tidur karena sering buang air kecil pada saat malam hari dan tentunya tidurnya menjadi tidak berkualitas, untuk hal ini penderita juga menjadi lebih mudah emosi dan sensitif karena rasa lelah yang dirasakan.
  • Mengalami Infeksi Jamur

Seiring berjalannya waktu sistem kekebalan tubuh penderita diabetes akan mengalami penurunan dan daya tahan tubuh yang turun akan membuat dirinya sangat mudah terkena virus lainnya, jadi penderita bisa mengalami infeksi akibat beberapa jamur yang masuk.

GEJALA DIABETES PADA WANITA

GEJALA DIABETES PADA WANITA


Pembahasan artikel yang selanjutnya saya akan mengupas mengenai beberapa gejala diabetes pada wanita dan penyebab dari penyakit diabetes yang sering terjadi di kalangan masyarakat saat ini. Penyakit diabetes atau gula darah adalah penyakit yang berbahaya karena bisa menyebabkan penderitanya mengalami stroke bahkan bisa berisiko terhadap nyawa penderita diabetes, gejala diabetes pada wanita sebenarnya sama saja dengan pria dan beberapa gejala diabetes pada wanita sering muncul akan membuat penderitanya merasa tidak nyaman dengan rasa sakit yang di timbulkan.
Tentunya anda sering mendengar bahwa penderita diabetes yang terkena luka maka luka tersebut akan sulit kering dan sembuh bahwa penderita diabetes yang harus di amputasi karena luka tersebut menjadi busuk dan harus di amputasi agar tidak menyebar ke daerah yang lainnya, banyak orang yang belum mengetahui cara menyembuhkan penyakit diabetes padahal saat ini banyak sekali berbagai macam obat yang di produksi dan di pasarkan di luar untuk mengatasi sakit diabetes tersebut. Diabetes menjadi dua tipe yaitu tipe pertama dimana penderita tidak bisa memproduksi insulin dan harus di suntik agar tetap bertahan masyarakat mengenalnya dengan diabetes kering dan diabetes tipe kedua dimana penderitanya masih bisa memproduksi insulin tetapi sangat berisiko terhadap serangan stroke dan di kenal dengan diabetes basah.
Diabetes tidak mengenal usia karena dari yang muda sampai tua bisa mengalami penyakit tersebut, jika banyak orang yang berpendapat bahwa penyakit diabetes hanya di alami oleh orang-orang yang lanjut usia maka pendapat tersebut salah karena banyak orang-orang yang masih berusia muda sudah mengalami beberapa gejala diabetes. Saat ini banyak masyarakat yang sering mengeluh tentang penyakit diabetes karena penyakit ini memang cukup membuat penderitanya menjadi tersiksa bahkan jumlah dari penderita diabetes selalu meningkat setiap tahunnya dan bukan hanya di Indonesia tetapi di negara lain juga mengalami hal sama, gejala diabetes pada wanita dan pria bisa dialami secara terus-menerus dan menyiksa penderita maka dari itu seseorang yang menderita diabetes atau gula darah harus mendapatkan pengobatan yang tepat untuk mengatasinya.

GEJALA DIABETES MELITUS

GEJALA DIABETES MELITUS



Penyakit Diabetes mellitus atau penyakit gula atau penyakit kencing manis adalah penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi batas normal (hiperglikemia) akibat tubuh yang kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Sebelum berkembang menjadi diabetes tipe 2, biasa selalu menderita pradiabetesyang memiliki gejala tingkat gula darah lebih tinggi dari normal tetapi tidak cukup tinggi untuk diagnosa diabetes. Setidaknya 20% dari populasi usai 40 hingga 74 tahun menderita pra-diabetes. Diagnosis diabetes ditegakkan berdasarkan gejalanya yaitu 3P (polidipsi, polifagi, poliuri) dan hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan kadar gula darah tinggi (tidak normal) .
Gejala Diabetes Mellitus
Gejala Diabetes Mellitus
Untuk mengukur kadar gula darah, contoh darah biasanya diambil setelah penderita berpuasa selama 8 jam atau bisa juga diambil setelah makan. Para penderita perlu perhatian khusus yang berusia diatas 65 tahun. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan setelah berpuasa dan jangan setelah makan karena usia lanjut memiliki peningkatan gula darah yang lebih tinggi.
Seseorang dikatakan menderita diabetes apabila pada pemeriksaan darah dari pembuluh darah halus (kapiler) glukosa darah lebih dari 120 mg/dl pada keadaan puasa dan / atau lebih dari 200mg/dl untuk 2 jam setelah makan. Bila yang diambil darah balik (vena) maka kadar glukosa puasa lebih dari 140 mg/dl dan / atau 200 mg/dl untuk 2 jam setelah makan.
Glukosa darah yang kurang dari 120 atau 140 mg/dl pada keadaan puasa namun antara 140-200 mg/dl pada 2 jam setelah makan disebut sebagai Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) yang tidak diperlukan pengobatan tapi tetap memerlukan pemantauan secara berkala. Pemeriksaan darah lainnya yang bisa dilakukan adalah dengan tes toleransi glukosa. Tes ini dilakukan pada keadaan tertentu, misalnya pada wanita hamil. Hal ini untuk mendeteksi diabetes yang sering terjadi pada wanita hamil.
Penderita berpuasa dan contoh darahnya diambil untuk mengukur kadar gula darah puasa. Lalu si penderita diminta untuk meminum larutan khusus yang mengandung sejumlah glukosa dan 2-3 jam kemudian contoh darah diambil lagi untuk diperiksa. Hasil glukosa contoh darah dibandingkan dengan kriteria diagnostik gula darah.
Mg/dl Bukan diabetes Pra Diabetes Diabetes
Puasa <110 110-125 >126
Sewaktu <110 110-199 >200
Gejala Diabetes Mellitus
Gejala diabetes mellitus klasik dari penyakit ini yang tidak segera diobati adalh penderita akan mengalami kehilangan berat badan, sering buang air kecil, sering haus dan sering merasa lapar. Gejala diabetes tersebut akan terus berkembang dengan sangat cepat hanya dalam beberapa minggu atau beberapa bulan saja pada penyakit diabetes tipe 1. Sementara pada penyakit diabetes tipe 2  umumnya akan berkembang menjadi jauh lebih lambat serta kemungkinan tanpa disertai dengan gejala sama sekali atau tidak jelas.
Selain gejala diabetes mellitus tersebut diatas, penyakit diabetes juga menunjukkan tanda-tanda atau gejala lainnya meskipun hal ini tidak termasuk ke dalam spesifikasi untuk diabetes. Penderita akan mengalami pandangan menjadi kabur, sakit kepala, proses penyembuhan lukan yang lama, dan gatal-gatal. Dengan terjadinya peningkatan glukosa darah yang lambat dapat menyebabkan proses penyerapan glukosa pada lensa mata, dengan begitu yang menyebabkan perubahan bentuk, serta perubahan ketajaman penglihat si penderita. Serta adanya sejumlah gatal-gatal karena penyakit diabetes dikenal sebagai diabetic dermadromes.

PENYAKIT DIABETES










PEYAKIT DIABETES

 


  Tentu anda sudah sering dengar tentang sebuah penyakit diabetes yang sering dialami oleh masyarakat di Indonesia saat ini dan penyakit ini bisa terjadi kepada siapa saja bahkan untuk semua kalangan jadi untuk anda semua harus tetap waspada jangan sampai anda mengalami penyakit diabetes apalagi untuk anda yang masih berusia sangat muda, artikel saya yang berikutnya akan menulis sebuah penyakit diabetes dan gejala diabetes yang sangat umum di alami oleh penderitanya. Penyakit diabetes memang akan menimbulkan beberapa gejala diabetes pada penderitanya bahkan gejala diabetes yang di timbulkan bisa di kenali oleh banyak orang dan penderitanya, jadi jika anda sering mengalami gejala diabetes seperti sering haus, sering buang air kecil atau bila anda mengalami luka maka luka tersebut sangat lama untuk sembuh maka anda harus cepat mengambil tindakan seperti melakukan cek gula darah untuk mengetahui kadar gula darah didalam tubuh anda, bila hasilnya gula darah anda melebihi dari batas normal maka anda harus mencari cara untuk menurunkan kadar gula darah tersebut agar anda tidak benar-benar mengalami penyakit diabetes.
Kadar gula darah yang tinggi masih bisa di turunkan dengan beberapa cara yang tepat, jadi jika anda baru mengalami gejala diabetes anda harus mengambil sikap yang cepat dan segera menurunkan kadar gula tersebut sebelum anda menjadi positif terkena penyakit diabetes, saat ini memang banyak berbagai macam obat yang di produksi untuk para pasien diabetes mulai dari obat-obatan dokter sampai dengan obat-obatan herbal yang terbuat dari beberapa tanaman herbal meskipun sudah banyak obat yang bisa mengatasi penyakit diabetes tetapi tetap saja tidak ada orang yang ingin mengalami penyakit ini, untuk itu lebih baik anda melakukan pencegahan di usia muda agar anda tidak pernah mengalami penyakit diabetes.
Jika masyarakat Indonesia melakukan pola hidup yang sehat dan benar saya yakin jumlah penderita diabetes bisa berkurang setiap tahunnya, tetapi sayangnya banyak masyarakat yang belum sadar dengan bahaya penyakit diabetes terutama para anak muda yang akan menjadi penerus bangsa, jaman yang modern seperti ini banyak anak muda yang sering menyimpang dan melakukan pola hidup secara tidak baik seperti sering minum alkohol, lebih menyukai makanan siap saji, malas untuk melakukan olahraga, dan sering begadang serta merokok, hal-hal seperti ini bisa menjadi pemicu terhadap penyakit diabetes karena seringnya mengkomsumsi alkohol dan makanan siap saji yang banyak mengandung garam dan bahan pengawet bisa membuat tubuh menjadi gemuk dan salah satu faktor penyebab diabetes orang-orang yang gemuk atau obesitas. Pentingnya menjalankan pola hidup yang sehat memang bukan sekedar untuk mencegah penyakit diabetes tetapi pola hidup yang sehat bisa bermanfaat untuk masa depan anda dan untuk hari tua anda.
Penyakit Diabetes Dan Gejala Diabetes
Penyakit Diabetes Dan Gejala Diabetes

Beberapa Gejala Diabetes :

  • Sering Merasa Haus Dan Lapar

Gejala diabetes yang awal adalah rasa haus dan lapar yang sering terjadi pada seseorang, hal ini bisa dialami oleh semua penderita penyakit diabetes. Rasa haus dan lapar yang terjadi di akibatkan karena hormon insulin sudah tidak aktif dan gula darah akan sulit untuk melewati membran sel sehingga akan terjadi peningkatan pada kadar gula gula didalam tubuh dan hasilnya akan membuat seseorang merasakan haus dan lapar yang terlalu sering.
  • Sering Kesemutan

Rusaknya sistem saraf yang terjadi akibat kadar gula yang tinggi membuat penderita diabetes sering merasa kesemutan pada kaki dan tangannya, kesemutan yang terjadi bisa berulang-ulang jadi bila anda sering merasa kesemutan waspada terhadap penyakit diabetes.
  • Pandangan Mata Bermasalah

Gula darah yang sangat tinggi membuat pembuluh darah mengalami kerusakan dan akibat kerusakan tersebut cairan yang seharusnya di kirim ke mata akan tersumbat sehingga mata tidak bisa mendapatkan cairan yang masuk dan akhirnya akan mengubah bentuk lensa jadi tidak heran bila banyak penderita diabetes yang pandangan matanya sering menjadi pudar atau tidak jelas. Tetapi bila kadar gula mulai normal kembali masalah gejala diabetes tersebut bisa hilang atau pandangan mata menjadi normal kembali.
  • Terjadi Infeksi Jamur

Sistem kekebalan tubuh yang menurun pada penderita penyakit diabetes bisa membuat tubuhnya rentan terhadap berbagai serangan bakteri yang menyebabkan infeksi, jadi penderita akan mudah mengalami sakit atau infeksi jamur, seperti pada wanita yang terkena diabetes akan sering mengalami masalah keputihan atau lainnya.
  • Luka Lama Sembuh Dan Berat Badan Turun Drastis

Gejala diabetes yang lainnya adalah proses penyembuhan luka biasanya untuk diabetes basah jika dirinya mengalami sebuah luka di tubuh maka luka tersebut bisa membutuhkan waktu lama untuk kering bahkan ada juga yang menjadi parah atau menjadi sebuah borok sedangkan untuk diabetes kering biasanya penderitanya akan mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis meskipun dirinya tetap makan dengan porsi yang banyak tetapi tubuhnya akan menjadi kurus kering.
  • Gangguan Kulit

Pada pasien penyakit diabetes masalah kulit seperti kulit kering, bersisik, gatal dan iritasi merupakan gejala diabetes yang sering terjadi hal ini di sebabkan karena sirkulasi darah didalam tubuh menjadi bermasalah akibatnya kelenjar keringat akan mengalami disfungsional.

GEJALA DIABETES

GEJALA DIABETES


Diabetes adalah suatu penyakit, dimana tubuh penderitanya tidak bisa secara otomatis mengendalikan tingkat gula (glukosa) dalam darahnya. Pada tubuh yang sehat, pankreas melepas hormon insulin yang bertugas mengangkut gula melalui darah ke otot-otot dan jaringan lain untuk memasok energi.
Diabetes merupakan gangguan metabolisme dari distribusi gula oleh tubuh. Penderita diabetes tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau tubuh yang tak mampu menggunakan insuin secaa efektif, sehingga terjadilah kelebihan gula di dalam darah. Kelebihan gula yang kronis di dalam darah (hiperglikemia) ini menjadi racun bagi tubuh.

Gambar : Proses terjadinya diabetes mellitus
Sebagiaan glukosa yang tertahan di dalam darah itu melimpah ke sistem urine untuk dibuang melalui urine. Air kencing penderita diabetes yang mengandung gula.
Tanda dan gejala yang sering dikeluhkan pasien diabetes mellitus antara lain : sering buang air kecil dimalam hari, sering merasa haus, cepat merasa lapar, berat badan turun dengan cepat, merasa lemah dan gampang kelelahan, sering kesemutan di kaki dan tangan, penglihatan kabur, sering infeksi, keputihan, luka atau memar yang sukar sembuh (gangren), bisul, kulit kering atau gatal-gatal.
Komplikasi Diabetes
Apabila dibiarkan tak terkendali serta tanpa perawatan yang memadai, kondisi diabetes ini dapat menimbulkan komplikasi penyakit yang berakibat fatal, seperti kerusakan saraf (Neuropathy), otak (cerebrovaskular), gangguan mata (retinopathy), penyakit jantung (kardiovaskular), penyakit ginjal (nefropathy), impotensi, gangguan pencernaan, komplikasi di mulut (gigi mudah lepas), mudah terinfeksi, kelainan kulit (gatal-gatal biasanya di sekitar kemaluan) dan luka membusuk (gangren).

Your Talented Future Doctor








What do you wonder about your future doctor?


Doctor is one of the precious profession at any era. Precious means that they have many responsibility carrying on the shoulder.
To be a doctor is not that easy. You are able to decide what patient status be like. As we also know that doctor has two chances in their arm. One is a licence to 'Safe' and another is a licence to 'Kill'.
In this new a day, that's happening about many doctors that have a wrong section in treating the patients and causes a harm thing for their patients. In that case, doctor is potentialy and frequently have an affair with police. That wasn't the scariest thing to face. Do you know, the scariest thing is when a doctor seen their patient pass away in their hands. oh, no way! So, do you know what would you do to avoid it? Yes, for our future later as a future doctor, build your fort right now with study harder and harder. Doctor is not an easy job when we realise what the bad effects are. So? It's all in your hand."LICENCE TO SAFE" or "LICENCE TO KILL"?



original write by: Dea Yulia Lubis


 

Selasa, 23 Juni 2015

Some hematological problems in Indonesia

Indonesia consist of many island inhabited by many ethnic groups with different social economic condition. As in other parts of the world, anemia is still one of the major health problem in Indonesia. The reported anemia prevalence differs in each area and age groups, ranging from 5.4% in well nourished preschool children to 56.3% in primary school children; and 19% to 62.5% in pregnant women. The causes of anemia mostly reported were nutritional like iron deficiency, abnormal hemoglobin besides other conditions. In Cipto Mangunkusumo Hospital as the national referral hospital in Indonesia, in the adults groups, the cause of anemia reported were 14% with iron deficiency, 54% aplastic, 16% hemolytic and 16% other causes. Whereas in the child health department the cause were 29% nutritional deficiency, 31% thalassemia, 10% aplastic, 4% hemolytic and 26% other causes. Thalassemia is quite often reported in Indonesia. In 1955 Lie-Injo first reported the HbE as the most frequently found abnormality among many ethnic groups in Indonesia, ranging from 2.5% to 13.2%. In later studies the prevalence reported varies very much. It was reported as 9.5% in newborns, 22% in pregnant women, and 15.95% to 60% in athletes. The carrier frequency in some areas was between 6–10%, while the pattern of mutation varied widely within each region. Hemophilia cases in Indonesia is still not diagnosed adequetely, only 530 cases were reported. The problems were lack of diagnostic laboratories and awareness. As many as 56.9% of the hemophilia patients who received cryoprecipitate were reported positive with HCV antibody. Hematological malignancy is now also became an increasing problem in Indonesia, in child health department the prevalence of leukemia was 57%, and lymphoma 13% among other malignancies. In National Cancer hospital, the prevalence leukemia as diagnosed using morphology and flowcytometry, were 51.4% AML, 19.7% B-ALL, 14.6% T-ALL, 4.5% preB-ALL, with 9.8% cases with co expression, and 30% other malignancies. Due to geographical situation, economic condition and lack of diagnostic laboratory facility many abnormalities were unable to be diagnosed properly.

Association between Multiple Cardiovascular Risk Factors and Atherosclerosis in Children and Young Adults

Atherosclerosis leading to coronary heart disease is complex in origin. Involved in the pathogenesis of atherosclerosis are hemodynamic, thrombotic, and carbohydrate–lipid metabolic variables, along with intrinsic characteristics of the arterial wall.1 These physiologic and biochemical factors underlie the clinical events that may eventually occur. Environmental factors such as smoking or a sedentary lifestyle also contribute to this process. The progression of atherosclerotic disease and the increasing severity of atherosclerosis relate not only to the presence and extent of cardiovascular risk factors but also to the persistence of risk factors over time.2,3 Sudden death may occur in a young person with only a single lesion complicated by a coronary thrombus, without extensive vessel disease. Consequently, the extent of vascular lesions may not be directly related to the occurrence of clinical events, such as myocardial infarction. Morbidity due to coronary artery disease, however, is generally related to the extent of vascular lesions.4 In this regard, clinical risk factors are considered to be useful in predicting the severity of atherosclerosis.5
Epidemiologic studies have established that multiple risk factors increase the probability of cardiovascular events, since cardiovascular risk factors tend to reinforce each other in their influence on morbidity and mortality.6 Although a specific risk factor influences the risk that a person will have cardiovascular disease, risk factors tend to aggregate and usually appear in combination. Furthermore, since clustering of risk factors is evident in childhood and persists into young adulthood,7-10 the presence of multiple risk factors could indicate the acceleration of atherosclerosis in young people.
Coronary arteriography has contributed considerably to elucidating the relation of the severity of coronary artery disease to cardiovascular risk factors. Unfortunately, assessing the extent of atherosclerotic coronary lesions by this invasive method in asymptomatic young people is not practical, and its value is limited as compared with that of actual anatomical observations.11 Autopsy data from epidemiologic studies have shown a relation between coronary artery disease and cardiovascular risk factors; for example, high serum total cholesterol concentrations and cigarette smoking are important contributors to the development of coronary atherosclerosis.6 Autopsy studies from the Bogalusa Heart Study have demonstrated a strong association of specific antemortem risk factors with vascular lesions in children and young adults.12,13 These observations have been extended by the findings in a larger, multicenter postmortem study, Pathobiological Determinants of Atherosclerosis in Youth.14-17 Multiple risk-factor data collected ante mortem in the Bogalusa Heart Study can be applied further to autopsy data. In this study we examined the influence of multiple risk factors on the extent of atherosclerosis in the aorta and coronary arteries in young people.

Methods

Study Population

The Bogalusa Heart Study is a long-term epidemiologic study of cardiovascular risk factors from birth through the age of 38 years in a biracial population (65 percent white and 35 percent black).18,19 Seven cross-sectional surveys, each including more than 3500 children, have been carried out since 1973. Since 1978, five follow-up surveys have been conducted among young adults who participated in previous cross-sectional surveys as children. Participation rates ranged from approximately 80 percent for school-age children to approximately 60 percent for the adult cohort. To date, data have been collected on approximately 14,000 people.
For the autopsy studies, a local information system was established in 1978 to obtain the family's or coroner's consent to conduct an autopsy after the death of a young person. For practical and logistic reasons, an autopsy was conducted on any resident of Washington Parish in Bogalusa, Louisiana, or adjacent parishes who died between the ages of 2 and 39 years. Not all the young people who died in this area had been eligible for the Bogalusa Heart Study's survey of cardiovascular risk factors, which was restricted to ward 4 of Washington Parish. Most deaths were due to accidents or homicide; only about 10 percent were due to renal, neoplastic, or infectious diseases or suicide. Autopsies were conducted in local funeral homes or in hospitals in adjacent communities, and selected tissues (including the heart and coronary arteries, aorta, and kidneys) were brought to the Department of Pathology at Louisiana State University Medical Center in New Orleans for study.
As of January 1996, specimens had been collected at autopsy from 86 white males, 52 black males, 36 white females, and 30 black females, representing more than 60 percent of all known eligible deaths. The mean (±SD) age at death ranged from 20.4±6.6 years among white females to 21.8±6.8 years among black males. Of the 204 persons examined at autopsy, 93 had previously been surveyed as part of the Bogalusa Heart Study and therefore had provided data on antemortem risk factors. Among these 93 persons, the mean age at death was 19.6±5.7 years for the 41 white males, 20.4±6.2 years for the 19 white females, 21.7±5.2 years for the 23 black males, and 22.4±6.0 years for the 10 black females.

Characterization of Cardiovascular Risk Factors

Essentially the same protocols were used in all surveys. The methods used to measure each risk factor have been described in detail previously.19 Height was measured to the nearest 0.1 cm and weight to the nearest 0.1 kg. Body-mass index (the weight in kilograms divided by the square of the height in meters) was used as a measure of obesity.
Blood pressure was measured in the right arm, with the subject in a relaxed, sitting position. The average of six measurements (three taken by each of two examiners) with a mercury sphygmomanometer was used in all analyses. The fourth Korotkoff phase was considered the diastolic blood pressure. Cigarette-smoking status, which was assessed by a questionnaire beginning at the age of eight and continuing through adulthood, was measured in terms of the number of cigarettes smoked per week.20 Serum total cholesterol, triglycerides, and high-density lipoprotein (HDL) and low-density lipoprotein (LDL) cholesterol were measured by standardized procedures,21 which met the performance requirements of the lipid-standardization program of the Centers for Disease Control and Prevention.

Evaluation of Atherosclerotic Lesions

At autopsy, the aorta and coronary arteries were opened longitudinally and stained with Sudan IV to localize lipid deposition. The extent of the intimal surface that was covered with fatty streaks and raised fibrous plaques in the vessels was graded visually according to procedures developed in the International Atherosclerosis Project22; these procedures are currently used by the Department of Pathology at Louisiana State University Medical Center. The pathologists grading the lesions were unaware of the subjects' risk-factor data. Briefly, the grader first estimated the percentage of the total intimal surface area involved with any atherosclerotic lesion and then estimated the percentage distribution of fatty streaks, fibrous plaques, complicated lesions (those with evidence of hemorrhage, ulceration, necrosis, or thrombosis, with or without calcification), and calcified lesions within this lesion-covered area. The recorded percentages of individual types of lesions within the lesion-covered area were converted to percentages of the total intimal surface area by multiplying each estimate by the fraction of intimal surface area covered with atherosclerotic lesions.
Three pathologists evaluated the vessels independently; the extent of atherosclerosis was expressed as the mean of the three values assigned by these pathologists for the percentage of the intimal surface covered by lesions. The prevalence of atherosclerotic lesions was defined as the percentage of persons studied who had at least minimal sudanophilic intimal deposits.

Statistical Analysis

We used z scores (standardized values) specific for the study period, race, sex, and age to eliminate the effects of age, race, sex, and potential variations in laboratory measurements on the antemortem risk-factor variables. For the 65 persons whose risk-factor status was assessed more than once, we used the average of the adjusted levels. Risk factors were defined as values above the 75th percentile (specific for study period, race, age, and sex) for the group as a whole. Antemortem values for very-low-density lipoprotein cholesterol and triglyceride values in nonfasting subjects were not included in the analyses.
Spearman correlation analysis was used to examine the association between the extent of fatty-streak or fibrous-plaque lesions in the aorta and coronary arteries and age at death and the z scores of individual risk-factor variables. A multivariate technique, referred to as canonical correlation analysis, was then used to examine the association between the two sets of variables — that is, the antemortem risk-factor variables and the extent of fatty-streak and fibrous-plaque lesions in the aorta and coronary arteries. The prevalence of atherosclerosis in various age groups was evaluated with a chi-square test. The influence of cigarette smoking on the extent of atherosclerosis and the effect of multiple risk factors on the extent of atherosclerosis were evaluated with analysis of covariance after the extent of lesions was adjusted for race, sex, and age at death; subjects with no risk factors were compared with those with one, two, and three or four risk factors. All statistical tests were two-sided. SAS software was used for all analyses.23

Results

Prevalence, Extent, and Interrelations of Lesions

Essentially all persons in the age groups we studied had fatty streaks in the aorta. In contrast, the prevalence of fatty streaks in the coronary arteries increased with age from approximately 50 percent at 2 to 15 years of age to 85 percent at 21 to 39 years (P=0.01). The prevalence of raised fibrous-plaque lesions in the aorta and coronary arteries is shown in Figure 1Figure 1The Prevalence of Fibrous-Plaque Lesions in the Aorta and Coronary Arteries in 204 Children and Young Adults, According to Age.. In the aorta, there was a trend toward increasing prevalence with age (P=0.001), especially after the age of 15 years; prevalence increased to 60 percent by the age of 26 to 39 years. In the coronary vessels, this age-related trend was even more consistent (P=0.001), with the prevalence increasing from 8 percent at 2 to 15 years to 69 percent at 26 to 39 years.
For each type of lesion, there was a trend toward involvement of an increasing percentage of the intimal surface with increasing age. In the aorta, the mean (±SD) percentage of the surface involved with fatty streaks increased from 13.8±15.5 percent at 2 to 15 years of age to 28.8±15.3 percent at 26 to 39 years (P<0.001), and the percentage involved with fibrous plaques increased from 0.2±0.5 percent to 4.0±7.4 percent, respectively (P<0.001). In the coronary arteries, the percentage of the surface involved with fatty streaks increased from 0.5±0.7 percent to 7.1±8.2 percent (P<0.001), and the percentage involved with fibrous plaques increased from 0.2±0.9 percent to 6.9±11.4 percent (P<0.001).
With respect to the interrelation of types of lesions in the aorta and coronary arteries, the correlation of the extent of fatty streaks and fibrous plaques in the aorta with the extent of lesions of the same type in the coronary arteries was only moderate (r=0.36 to 0.37, P=0.001). Furthermore, the correlation between the extent of fatty streaks and that of fibrous plaques was much greater in the coronary arteries (r=0.60, P<0.001) than in the aorta (r= 0.23, P=0.03).

Relation of Lesions to Specific Risk Factors

Correlations between the extent of lesions and specific antemortem risk factors are shown in Table 1Table 1Correlation between the Extent of Lesions in the Aorta and Coronary Arteries and Antemortem Risk-Factor Variables.. The extent of atherosclerotic lesions correlated positively and significantly with body-mass index, systolic blood pressure (except in the case of fibrous plaques in the aorta), diastolic blood pressure (this was true only for fibrous plaques in the coronary arteries), serum total cholesterol concentrations (except for fibrous plaques in the aorta and coronary artery), serum LDL cholesterol concentrations (except for fibrous plaques in the aorta), and serum triglyceride concentrations (except for fatty streaks in the aorta). Furthermore, canonical correlation analysis showed that the extent of fatty-streak and fibrous-plaque lesions in the aorta and coronary vessels as a group were associated moderately strongly with body-mass index (r=0.48), systolic blood pressure (r=0.55), serum triglyceride concentrations (r= 0.50), and LDL cholesterol concentrations (r=0.43) and associated weakly with diastolic blood pressure (r=0.22) and HDL cholesterol concentrations (r= –0.16). On the other hand, antemortem risk-factor variables as a group were most strongly associated with the extent of fatty streaks in the coronary arteries (r=0.55), followed by the extent of fibrous plaques in the coronary arteries (r=0.52), fibrous plaques in the aorta (r=0.40), and fatty streaks in the aorta (r=0.38). Overall, the highest canonical correlation between antemortem risk-factor variables and the extent of lesions in the aorta and coronary arteries was 0.70 (P<0.001).
The influence of cigarette smoking on the prevalence and extent of aortic and coronary-artery lesions is shown in Figure 2Figure 2The Influence of Cigarette Smoking on the Prevalence (Top Panels) and Extent (Bottom Panels) of Atherosclerosis in the Aorta and Coronary Arteries in Children and Young Adults.. The prevalence of lesions in these vessels was similar in the 15 smokers and the 34 nonsmokers (for the remaining subjects, smoking status was unknown). The mean (±SE) percentage of the intimal surface involved with fibrous-plaque lesions in the aorta was higher in smokers than in nonsmokers (1.22±0.62 percent vs. 0.12±0.07 percent, P=0.02), as was the percentage involved in fatty-streak lesions in the coronary vessels (8.27±3.43 percent vs. 2.89±0.83 percent, P=0.04).

Relation of Lesions to Multiple Risk Factors

The mean percentage of the intimal surface covered by lesions in patients with different numbers of risk factors (0, 1, 2, and 3 or 4) is shown in Figure 3Figure 3The Effect of Multiple Risk Factors on the Extent of Atherosclerosis in the Aorta and Coronary Arteries in Children and Young Adults.. The risk factors we evaluated included body-mass index, systolic blood pressure, serum triglyceride concentration, and serum LDL cholesterol concentration. In subjects with 0, 1, 2, and 3 or 4 risk factors, 19.1 percent, 30.3 percent, 37.9 percent, and 35.0 percent, respectively, of the intimal surface area was involved with fatty streaks in the aorta (P for trend=0.01). In the coronary arteries, 1.3 percent, 2.5 percent, 7.9 percent, and 11.0 percent, respectively, of the intimal surface was involved with fatty streaks (P for trend=0.01), and 0.6 percent, 0.7 percent, 2.4 percent, and 7.2 percent was involved with collagenous fibrous plaques (P for trend=0.003). The extent of fatty-streak lesions in the coronary arteries was 8.5 times as great in persons with three or four risk factors as in those with none (P=0.03), and the extent of fibrous-plaque lesions in the coronary arteries was 12 times as great (P=0.006).

Discussion

Observations from autopsy studies by the Bogalusa Heart Study and the multicenter Pathobiological Determinants of Atherosclerosis in Youth study clearly documented a strong relation between coronary atherosclerosis and cardiovascular risk factors in young people.12-17 Our observation that specific antemortem risk factors such as elevations in body-mass index, systolic blood pressure, serum LDL cholesterol concentration, and serum triglyceride concentration and cigarette smoking are significantly related to the extent of atherosclerotic lesions in young people is in agreement with the findings in those studies. Furthermore, the prevalence and extent of lesions in the coronary arteries, especially fibrous-plaque lesions that encroach on the lumen, increased with age in the young people we studied. Previous studies of the natural history of atherosclerosis indicated that in populations with high rates of premature coronary artery disease, advanced lesions begin to appear with greater frequency during childhood and young adulthood.24 Although there has been some question about the clinical significance of fatty streaks in the aorta, which some suggest are evanescent, their presence in association with fibrous plaques in coronary vessels is considered to indicate that atherosclerosis is progressive and severe.25 In the current study, the correlation between the extent of fatty streaks and that of fibrous plaques was much greater in the coronary arteries than in the aorta. Also, the proportion of collagenous fibrous plaques in relation to fatty streaks was greater in the coronary vessels than in the aorta.
We found that the extent of atherosclerotic lesions in the coronary vessels increased markedly in young people with multiple risk factors. This finding supports the concept that multiple risk factors have a synergistic effect on morbidity and mortality from coronary heart disease in middle age and later, as has been demonstrated by epidemiologic studies such as the Framingham Study.26 We could not examine the effect of multiple risk factors on the extent of atherosclerosis separately according to race and sex because of the small numbers of persons in each group within our sample.
The multiple risk factors we evaluated included high values for body-mass index, systolic blood pressure, and LDL cholesterol and triglycerides in serum. Cardiovascular risk factors such as dyslipidemia, hypertension, hyperinsulinemia or insulin resistance, and obesity often coexist in both children and young adults.9,10 Since the clustering of these conditions — termed syndrome X,27 the deadly quartet,28 or insulin-resistance syndrome29 — is seen so frequently, a common pathophysiologic mechanism involving insulin resistance has been suggested. Although we did not measure plasma insulin and glucose concentrations as indicators of carbohydrate–lipid metabolism, it is reasonable to suggest that these variables may be part of the cluster of risk factors in the study population, as we have shown previously.9,10,30 In this regard, the effects of elevated glycosylated hemoglobin concentrations and of obesity on atherosclerosis are evident throughout the group of 15-to-34-year-old subjects in the Pathobiological Determinants of Atherosclerosis in Youth study.16
Our observation that the extent of fatty-streak lesions in the coronary vessels of children and young adults was higher in cigarette smokers than in nonsmokers is in agreement with the findings of the Pathobiological Determinants of Atherosclerosis in Youth study.14,17 Therefore, it is to be expected that cigarette smoking by young people who have multiple other risk factors will adversely influence the extent of coronary atherosclerosis.
The effects of multiple risk factors on coronary atherosclerosis give further justification for the evaluation of cardiovascular risk in young people and provide a rationale for both prevention and intervention. It may be important to focus on multiple cardiovascular risk factors early in life, rather than on a specific risk factor, such as hypercholesterolemia. Interventions related to modifiable risk factors, such as the prevention of smoking, weight control, and encouragement of physical exercise and a prudent diet, if undertaken early in life, may retard the development of atherosclerosis.
Supported by grants from the National Heart, Lung, and Blood Institute (HL-38844) and the National Institute of Child Health and Human Development (HD-32194).
We are indebted to the many people who collaborated with the Bogalusa Heart Study for their cooperation, to Bettye Seal for her work as community coordinator, and to the children and young adults of Bogalusa, Louisiana, without whom this study would not have been possible.

Source Information

From the Tulane Center for Cardiovascular Health, Tulane School of Public Health and Tropical Medicine (G.S.B., S.R.S., W.B., W.A.W.); and the Department of Pathology, Louisiana State University Medical Center (W.P.N., R.E.T.) — both in New Orleans.
Address reprint requests to Dr. Berenson at the Tulane Center for Cardiovascular Health, Tulane School of Public Health and Tropical Medicine, 1501 Canal St., 14th Fl., New Orleans, LA 70112-2824.